Tapi, bagaimana bila ketika itu tidak ada terigu? Tentu koki itu akan memikirkan untuk memasak yang lain. Tidak pernah ada proses kreatif yang menciptakan bakwan. Bahkan bisa jadi, dari csejak awal koki itu tidak pernah sampai pada ide atau konsep tentang bakwan.
***
Bergaul dengan banyak ragam manusia. Mengunjungi tempat yang indah juga yang kumuh. Mendengar musik dari segala genre. Merenung bersama jangkrik di loteng rumah. Mengalami sebanyak mungkin hal baru dan unik—yang mungkin sebelumnya tak pernah terpikirkan. Ada banyak sekali hal yang bisa dilakukan untuk memperkaya database di dalam pikiran kita. Tapi, satu yang paling penting—terutama untuk yang jarang gaul, jarang liburan, dan jarang merenung—ialah membaca sebanyak mungkin.
Baca buku apa saja. Fiksi maupun non fiksi. Jangan merasa kenyang hanya dengan membaca buku sekolah atau kuliah. Sudah banyak orang yang membaca buku yang sama. Bila kamu tidak membaca sesuatu yang berbeda, wajarkah bila kamu berharap buah-pikirmu akan jauh berbeda dengan mereka? Dari sinilah awal mula sebuah ide yang disebut basi.
Yang perlu dicatat: imajinasi tidaklah liar. Dia bergerak dari sesuatu yang sudah ada, yang terpikirkan, hanya saja belum terstruktur dan logis. Buku-buku yang kamu baca akan menjadi taman bermain imajinasimu.
Semakin sedikit membaca, ruang imajinasimu semakin sempit. Pun sebaliknya, semakin banyak membaca maka semakin tahu tentang dunia, semakin lincah imajinasimu. Bahkan, bila membaca sebuah buku yang kerennya luar biasa, imajinasimu akan diberi sayap olehnya. Wawasanmu di-upgrade menuju level yang lebih tinggi dibanding orang lain. Ini bagian terkeren dari membaca.
Terkadang kita perlu mengambil buku paling tidak laku di toko buku, atau buku yang sama sekali tidak pernah terbaca oleh pengunjung perpustakaan. Temukan keunikan yang menjadi alasan buku itu diterbitkan. Bila itu buku non fiksi, tarik sebuah inti darinya, lalu jadikan itu sebagai bahan pembangun tulisan fiksimu.
Di luar sana ada banyak contoh karya bergenre sci-fi yang menggunakan pengetahuan ilmiah sebagai alur logikanya. Banyak pula penulis yang menggunakan fakta sejarah untuk kemudian digodok menjadi fiksi yang mengandung emosi, sehingga sejarah terbaca hingga ke jiwanya.
Tengoklah J. K. Rowling, Dan Brown, Dewi Lestari, Seno Gumira, Pramoedya. Mereka para penulis cerdas. Bila mereka seorang koki, dapur mereka sudah pasti diisi banyak bahan yang semuanya dikumpulan dari proses pengalaman dan pembacaan, dan tentu saja bukan cuma berupa terigu, kol, dan minyak sayur. Silakan lihat karya mereka. Lebih mencengangkan dari bakwan, bukan?